Asal-Usul Gado-gado
Senyampang masih dalam suasana HUT Jakarta, kita ngomong soal gado-gado, nyok? Dalam kehampaan sejarah tentang asal-muasal gado-gado, kita anggap saja gado-gado adalah sajian khas Betawi. Nyatanya, gado-gado adalah salah satu hidangan paling populer di Jakarta, tersedia di setiap pojok Jakarta, dan disukai siapa saja.
Tetapi, gado-gado sudah sejak lama menembus keluar Jakarta dan telah pula menjadi hidangan yang sangat populer di seluruh Indonesia. Gado-gado muncul pada daftar makanan di restoran dari Sabang sampai Merauke. Bahkan banyak orang asing mengenali gado-gado – di samping nasi goreng – sebagai carte du jour nasional Indonesia.
Bahkan asal kata gado-gado pun masih gelap. Mungkinkah itu berasal dari bahasa Prancis? Atau Belanda? Atau Portugis? Tidak ada satu pun kamus Bahasa Indonesia yang dapat menjelaskan dari mana asal kata gado-gado. Bahkan dalam bahasa Betawi – yang untuk sementara kita sepakati sebagai asal-muasal dan tempat terpopuler untuk makan gado-gado – tidak dikenal istilah asli yang dapat menjelaskan asal kata gado-gado. RRI Studio Jakarta dulu punya acara obrolan yang amat populer antara seorang tukang sado (Bang Madi) dan tukang gado-gado (Mpok Ani). Keduanya adalah tokoh legendaris yang telah ikut menanamkan claim bahwa gado-gado adalah hidangan khas Betawi.
Gado-gado bahkan menjadi istilah untuk segala macam yang sifatnya merupakan adukan dari berbagai unsur. Misalnya, bahasa gado-gado untuk mengatakan bahasa campur-campur. Perkawinan gado-gado adalah untuk dua mempelai yang punya latar belakang suku, agama, atau ras yang berbeda. Gado-gado barangkali juga merupakan istilah rakyat untuk mengatakan Bhinneka Tunggal Ika atau keberagamaan. Satu
Kita hanya dapat memperkirakan asal nama gado-gado. Orang Jawa biasanya memakai istilah digado untuk makanan yang bisa dimakan tanpa nasi. Gado-gado, sekalipun sering dimakan dengan lontong, memang jarang dimakan dengan nasi. Bila dimakan dengan lontong, gado-gado memang merupakan a meal in itself, bukan lauk. Di Jawa ada makanan yang disebut gadon karena bisa dimakan tanpa nasi.
Mungkin karena claim yang kabur tentang gado-gado inilah maka kita tak dapat memperjuangkan claim resmi sebagai pemilik hak cipta atas gado-gado. Seorang pembaca "Jalansutra" di New Zealand bahkan dengan geram menemukan temuannya karena restoran Malaysia di sana menyebut gado-gado sebagai hidangan nasional Malaysia.
Pada dasarnya, gado-gado adalah campuran berbagai sayur rebus yang dibubuhi bumbu atau saus dari kacang. Sayur-mayur rebus yang dipakai biasanya adalah bayam atau kangkung, kacang panjang, tauge, labu siam, jagung, nangka muda, pare (paria), kol (kubis). Di atas sayur rebus itu dibubuhi lagi berbagai "asesori" seperti tahu goreng, tempe goreng, kentang goreng atau rebus, telur rebus, dan timun (tidak direbus) yang diiris tipis. Terakhir, setelah diberi bumbu kacang, ditaburi lagi bawang goreng dan kerupuk. Kerupuknya bisa emping mlinjo, kerupuk merah, kerupuk udang, atau kerupuk Palembang. Jenis kerupuk yang dipakai biasanya menentukan murah-mahalnya gado-gado. Saya justru suka memakai kerupuk merah yang dilembabkan atau dilembekkan dengan mengaduknya ke dalam bumbu kacang. Soalnya, karena asam urat saya perlu menghindari emping mlinjo.
Gado-gado mengenal dua varian bumbu atau saus kacang. Yang pertama dan paling disukai adalah bumbu yang diulek secara individual. Bumbu ulek ini disukai karena dianggap lebih fresh, dan lebih eksklusif. Misalnya, ada orang yang ingin cabenya lebih banyak, atau tanpa kencur, atau mau ditambah daun jeruk purut yang diulek dan diratakan ke seluruh cobek agar memberi keharuman dan citarasa yang khas.
Varian yang kedua adalah bumbu yang sudah dipersiapkan dalam jumlah banyak dan tinggal disiramkan ke atas campuran sayur dan asesorinya. Ada pula yang merebus bumbu atau saus kacang ini sebentar agar semua elemen bumbunya menyatu. Apa pun jenis bumbu yang Anda pilih, pada akhirnya citarasa pribadilah yang menentukan.
Tidak heran bila saya mengalami kesulitan ketika bersama empat teman lainnya menjadi juri dalam lomba gado-gado ulek baru-baru ini. Lomba ini diselenggarakan dalam rangka pameran Horeka (hotel-restoran-katering) yang tiap tahun diselenggarakan oleh Makro. Uniknya, Makro mengharuskan semua peserta memakai kacang mede – bukan kacang tanah – untuk bumbu gado-gado. Kacang mede disediakan gratis untuk semua peserta. Ini membuat gado-gado lebih istimewa dan naik "pamor"-nya.
Tiga puluh peserta berlomba menampilkan kepiawaian mereka masing-masing untuk bisa mengungguli yang lain. Harus diakui, dari 30 porsi yang tersedia itu, tidak satu pun yang tidak enak. Kelihatannya memang sulit untuk membuat gado-gado yang tidak enak. Untungnya, dalam putaran penilaian pertama, kelima juri sudah sepakat ada lima peserta yang diunggulkan. Kami berkeliling sekali lagi untuk memfokuskan penialaian pada kelima peserta itu. Akhirnya, tiga pemenang ditetapkan. Lucunya, ketiganya adalah laki-laki. Salah satu dari mereka memang berprofesi sebagai pedagang gado-gado. Padahal, banyak peserta perempuan yang juga berprofesi sebagai pedagang gado-gado unggulan kampungnya masing-masing.
Di Jakarta, ada tiga tempat makan gado-gado yang saya sukai. Yang pertama, tentu saja semua orang setuju, adalah di Boplo, Jakarta Pusat. Bung Karno saja dulu selalu memesan gado-gadonya dari Boplo. Warung gado-gado ini sudah berdiri sejak 1947. "Semua presiden Indonesia suka makan gado-gado dari sini," kata yang empunya dengan bangga.
Kalau Anda belum mengenal gado-gado Boplo, penjelasan singkat ini perlu Anda perhatikan. Dulunya di kawasan Boplo (mungkin berasal dari kata bouw-ploeg dalam bahasa Belanda yang berarti satu regu pekerja bangunan), dekat Stasiun Gondangdia, itu ada dua warung gado-gado yang populer. Dua-duanya dimiliki oleh orang Tionghoa. Entah kenapa, masakan asli daerah selalu jadi lebih istimewa bila tersentuh oleh tangan orang Tionghoa. (Contoh lain adalah laksa, opor, bahkan masakan padang).
Warung yang satu memakai merek "Gado-gado Boplo". Sedang yang lain memakai merek "Gado-gado Cemara". Pembangunan di sekitar Pasar Boplo dan Stasiun Gondangdia membuat kedua warung itu beberapa kali pindah tempat. "Gado-gado Boplo" kini mangkal di Jalan KH Wahid Hasyim, dan sudah pula punya cabang di Kelapa Gading. Sedangkan "Gado-gado Cemara" sudah pindah tempat dua kali di sekitar situ, dan kini gerainya berada di Jalan KH Wahid Hasyim juga.
Kekhasan gado-gado varian Boplo ini adalah campuran kacang mede untuk bumbunya. Sekalipun diulek, gado-gado Boplo ini dibuat tidak pedas. Sambal disajikan terpisah, agar pelanggan membubuhkan sendiri sambal menurut kesukaan masing-masing. Sekarang, harga per porsi Rp 14 ribu. Tiga kali lipat dari harga gado-gado biasa yang ditawarkan warung-warung sederhana.
Favorit saya yang kedua adalah gado-gado dari Jalan Cikini IV (dulu Jalan Kebon Binatang IV). Lagi-lagi, pemiliknya adalah orang Tionghoa. Di sini bumbunya tidak diulek individual, melainkan sudah siap di panci dan tinggal disiram. Kalau beli untuk dibawa pulang, bumbu kacang dan sambalnya dipisahkan dari sayur agar tahan lama. Istimewanya lagi, di sebelahnya ada gerai yang menjual es krim Canang (d/h Tjan Njan) yang terkenal. Setelah menyantap gado-gado, disempurnakan dengan es krim kopyor. Alamak …
Dulu saya sering diajak Rio Helmi, jurupotret, vegetarian, makan gado-gado di bawah pohon palem di Jalan Suwiryo, Menteng. Kekhasan gado-gado Jalan Suwiryo adalah pare sebagai salah satu bahan pokok. Beberapa kali saya lewat Jalan Suwiryo, dan tidak menemukan lagi tukang gado-gado itu. Jangan-jangan dia sudah pindah ke Jalan Kartanegara di Kebayoran Baru. Soalnya, di sana sekarang ada tukang gado-gado gerobak dorong yang juga sangat terkenal.
Seorang teman mengatakan bahwa terlalu sulit baginya menentukan mana gado-gado yang paling enak. "Gado-gado di dekat kantor saya yang cuma empat ribu perak saja sudah enak banger, kok," katanya. Ada pula yang bilang tukang gado-gado di dekat tempat sampah di Pasar Santa adalah yang paling enak di kawasan Kebayoran Baru.
Pilihan-pilihan pribadi seperti itu tak perlu diperdebatkan. Semua orang punya tempat favorit mereka masing-masing tentang gado-gado terbaiknya. Setiap kampung di Jakarta mempunyai warung gado-gado favorit masing-masing. Bahkan tukang gado-gado yang mendorong gerobaknya ke sepanjang jalan Jakarta tidak boleh dianggap remeh. Dari kelengkapan jenis sayurnya saja, gado-gado gerobak itu harus diacungi jempol.
Bicara soal gado-gado, nggak ada matinya, dah!